Simon Felix Sembiring ialah seorang insinyur pertambangan yang mendapat gelar dari Institut Teknologi Bandung. Ia juga meraih PhD dalam bidang Mineral Economics dari University of New South Wales. Telah lama, ia berkiprah di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral hingga menjadi Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi.
Buku ini membahas persoalan yang dihadapi dan juga kunci masalah yang ada pada sektor pertambangan. Kita mau tidak mau harus menelan sebuah ironi bahwasannya negara ini kaya sumber daya mineral kelas dunia, namun masih banyak masyarakat yang belum makmur. Oleh karena itu, buku ini menghadirkan solusi untuk mengatasi ironi tersebut.
Kita patut bersyukur telah dilahirkan di sebuah negeri yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Timah misalnya, dengan produksi 78 ribu ton/tahun, kita adalah penghasil timah nomor dua sedunia. Lalu, nikel, kita nomor 5 di dunia (96 ribu ton/tahun). Kemudian tembaga, kita juga nomor 5, sementara batu bara dan emas nomor 7. Dari sektor pertanian dan perkebunan juga kelas dunia. Indonesia adalah produsen teh nomor 5 sedunia, dan juga produsen kopi nomor 4 sedunia, lalu produsen kakao nomor 3 sedunia. Belum lagi potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 29 ribu Giga Watt.
Betapa hebatnya Tanah Air ini, ibarat di bawah apa yang kita jejak, di sana ada harta karun luar biasa. Mirip seperti lagu yang dibawakan Koes Plus sebagai bentuk pentakziman untuk negeri tercinta. “... Orang bilang tanah kita tanah surga ..tongkat kayu dan batu jadi tanaman..” Namun kenyataannya, mengapa ada ironi di tanah surga? Apa yang kurang? Apakah kita bangsa yang kurang kreatif? Kesalahan apa yang telah terjadi pada negeri tercinta ini?
Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kontribusi dari sektor Sumber Daya Alam khususnya pertambangan memang dinilai sangat besar terhadap pendapatan negara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan Mineral dan Batubara mencapai Rp 40,6 triliun pada tahun 2017.
Dengan kontribusi yang tak sedikit tersebut, sayangnya industri pertambangan selalu disorot negatif. Industri pertambangan dipandang tak lebih dari industri keruk yang cuma pandai mengambil kekayaan alam, dan memberi sebagian kecil royalti, lalu pergi meninggalkan lumbung bencana di wilayah operasi. Mereka mengabaikan nasib generasi mendatang, kehancuran lingkungan hidup, penderitaan masyarakat adat, menurunnya kualitas hidup penduduk lokal, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, dan kehancuran ekologi pulau-pulau. Namun, industri pertambangan tetaplah berkontribusi besar terhadap tulang punggung utama pembangunan nasional, sektor pertambangan adalah penopang dari kebutuhan energi dari 8 sektor lainnya dan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia, juga penyediaan lapangan kerja yang besar.
Tetapi, kebanggaan dan kehebatan Tanah Air kita hanya sampai di situ saja. Kita tidak menciptakan nilai tambah dari output tambang ini. Di Jepang dan Korea yang tak punya tambang-tambang nikel, kekayaan dari bumi Nusantara ini justru diolah disana menjadi beragam produk turunan yang kemudian mereka jual kembali dengan harga yang lebih mahal. Kita hanya pemain minor dalam rantai pengolahan nikel di dunia. Bukan produk final dengan harga yang tinggi. Kita belum memanfaatkan output pertambangan dengan maksimal. Mereka yang resource-poor lah yang justru mengoptimalkannya.
Dari fakta tersebut, sudah jelas bahwa betapa Indonesia masih mengandalkan produk bahan mentah dari kekayaan alamnya, yang sangat rentan terhadap fluktuasi perdagangan dunia. Sementara negara lain yakni Jepang, Korea, Taiwan, dan bahkan Singapura lebih mengandalkan produk intelektual yang harganya lebih stabil bahkan cenderung naik sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan mengolah kekayaan tambang di Tanah Air, maka kekayaan tambang akan menjadi maksimal dalam pemanfaatannya dengan digali kemudian diolah menjadi barang jadi yang bernilai jual tinggi. Sebuah proses panjang dengan nilai multiplier effect yang besar karena bukan hanya menggerakkan aktivitas pertambangan di hulu, tapi juga aktivitas di tengah dan hilir. Tak ada mata rantai yang hilang, begitu bahan tambang diolah, maka akan ada industri-industri yang memanfaatkannya dengan kreatif. Selain itu, terbukanya industri demi industri ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar. Bisa dibayangkan begitu besarnya efek ekonomi dari sini.
Jadi, kalau ada yang bertanya, “Mengapa kekayaan tambang di Tanah Air tidak membuat kita kaya?”. Jelas bisa dijawab, karena kita sendiri tak memaksimalkannya, tak membuat nilai tambah, dan tak menciptakan multiplier effect dari yang semestinya. Banyak missing link dalam rantai nilai tambang yang bisa dihasilkan nilai jual yang sangat tinggi dan lebih stabil.
Sungguh, kekayaan alam negeri ini sangatlah besar dan luar biasa. Ketimbang mengutuk kegelapan, lebih baik kita bersama-sama menyalakan lilin agar terlihat jalan terang di sekitar kita. Kita harus percaya bahwa selalu ada solusi untuk memperbaiki keadaan yang muncul dari semua kelemahan ini. Langkah pertama tentu saja kita harus membebaskan diri kita dari pemikiran sempit bahwa “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” hanya mengandalkan pajak dan royalti yang ditarik pemerintah. Akan tetapi, kita perlu langkah-langkah lain yang sistematik, sejak dari tataran berpikir hingga tataran kebijakan serta implementasinya dari hulu ke hilir.
Simon Felix Sembiring ialah seorang insinyur pertambangan yang mendapat gelar dari Institut Teknologi Bandung. Ia juga meraih PhD dalam bidang Mineral Economics dari University of New South Wales. Telah lama, ia berkiprah di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral hingga menjadi Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi.
BalasHapusBuku ini membahas persoalan yang dihadapi dan juga kunci masalah yang ada pada sektor pertambangan. Kita mau tidak mau harus menelan sebuah ironi bahwasannya negara ini kaya sumber daya mineral kelas dunia, namun masih banyak masyarakat yang belum makmur. Oleh karena itu, buku ini menghadirkan solusi untuk mengatasi ironi tersebut.
Kita patut bersyukur telah dilahirkan di sebuah negeri yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Timah misalnya, dengan produksi 78 ribu ton/tahun, kita adalah penghasil timah nomor dua sedunia. Lalu, nikel, kita nomor 5 di dunia (96 ribu ton/tahun). Kemudian tembaga, kita juga nomor 5, sementara batu bara dan emas nomor 7. Dari sektor pertanian dan perkebunan juga kelas dunia. Indonesia adalah produsen teh nomor 5 sedunia, dan juga produsen kopi nomor 4 sedunia, lalu produsen kakao nomor 3 sedunia. Belum lagi potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 29 ribu Giga Watt.
Betapa hebatnya Tanah Air ini, ibarat di bawah apa yang kita jejak, di sana ada harta karun luar biasa. Mirip seperti lagu yang dibawakan Koes Plus sebagai bentuk pentakziman untuk negeri tercinta.
BalasHapus“... Orang bilang tanah kita tanah surga
..tongkat kayu dan batu jadi tanaman..”
Namun kenyataannya, mengapa ada ironi di tanah surga? Apa yang kurang? Apakah kita bangsa yang kurang kreatif? Kesalahan apa yang telah terjadi pada negeri tercinta ini?
Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kontribusi dari sektor Sumber Daya Alam khususnya pertambangan memang dinilai sangat besar terhadap pendapatan negara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan Mineral dan Batubara mencapai Rp 40,6 triliun pada tahun 2017.
Dengan kontribusi yang tak sedikit tersebut, sayangnya industri pertambangan selalu disorot negatif. Industri pertambangan dipandang tak lebih dari industri keruk yang cuma pandai mengambil kekayaan alam, dan memberi sebagian kecil royalti, lalu pergi meninggalkan lumbung bencana di wilayah operasi. Mereka mengabaikan nasib generasi mendatang, kehancuran lingkungan hidup, penderitaan masyarakat adat, menurunnya kualitas hidup penduduk lokal, meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, dan kehancuran ekologi pulau-pulau. Namun, industri pertambangan tetaplah berkontribusi besar terhadap tulang punggung utama pembangunan nasional, sektor pertambangan adalah penopang dari kebutuhan energi dari 8 sektor lainnya dan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia, juga penyediaan lapangan kerja yang besar.
Tetapi, kebanggaan dan kehebatan Tanah Air kita hanya sampai di situ saja. Kita tidak menciptakan nilai tambah dari output tambang ini. Di Jepang dan Korea yang tak punya tambang-tambang nikel, kekayaan dari bumi Nusantara ini justru diolah disana menjadi beragam produk turunan yang kemudian mereka jual kembali dengan harga yang lebih mahal. Kita hanya pemain minor dalam rantai pengolahan nikel di dunia. Bukan produk final dengan harga yang tinggi. Kita belum memanfaatkan output pertambangan dengan maksimal. Mereka yang resource-poor lah yang justru mengoptimalkannya.
BalasHapusDari fakta tersebut, sudah jelas bahwa betapa Indonesia masih mengandalkan produk bahan mentah dari kekayaan alamnya, yang sangat rentan terhadap fluktuasi perdagangan dunia. Sementara negara lain yakni Jepang, Korea, Taiwan, dan bahkan Singapura lebih mengandalkan produk intelektual yang harganya lebih stabil bahkan cenderung naik sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan mengolah kekayaan tambang di Tanah Air, maka kekayaan tambang akan menjadi maksimal dalam pemanfaatannya dengan digali kemudian diolah menjadi barang jadi yang bernilai jual tinggi. Sebuah proses panjang dengan nilai multiplier effect yang besar karena bukan hanya menggerakkan aktivitas pertambangan di hulu, tapi juga aktivitas di tengah dan hilir. Tak ada mata rantai yang hilang, begitu bahan tambang diolah, maka akan ada industri-industri yang memanfaatkannya dengan kreatif. Selain itu, terbukanya industri demi industri ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar. Bisa dibayangkan begitu besarnya efek ekonomi dari sini.
Jadi, kalau ada yang bertanya, “Mengapa kekayaan tambang di Tanah Air tidak membuat kita kaya?”. Jelas bisa dijawab, karena kita sendiri tak memaksimalkannya, tak membuat nilai tambah, dan tak menciptakan multiplier effect dari yang semestinya. Banyak missing link dalam rantai nilai tambang yang bisa dihasilkan nilai jual yang sangat tinggi dan lebih stabil.
Sungguh, kekayaan alam negeri ini sangatlah besar dan luar biasa. Ketimbang mengutuk kegelapan, lebih baik kita bersama-sama menyalakan lilin agar terlihat jalan terang di sekitar kita. Kita harus percaya bahwa selalu ada solusi untuk memperbaiki keadaan yang muncul dari semua kelemahan ini. Langkah pertama tentu saja kita harus membebaskan diri kita dari pemikiran sempit bahwa “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” hanya mengandalkan pajak dan royalti yang ditarik pemerintah. Akan tetapi, kita perlu langkah-langkah lain yang sistematik, sejak dari tataran berpikir hingga tataran kebijakan serta implementasinya dari hulu ke hilir.
BalasHapusHarga hanya 150 ribu
Tertarik???
Hubungin: 089-999-26-779
siap kirim ke luar kota