Air mata Bung Karno berlinang-linang. Bapak Bangsa itu memang jarang menyembunyikan perasaannya. Lahir dan besar di Jawa Timur, yang sering dikatakan sebagai bagian wilayah orang-orang Jawa yang terbuka, Soekarno tak malu menangis terisak-isak ketika ziarah ke kubur jenderal yang sangat disayanginya yang dibunuh sewaktu peristiwa 1 Oktober 1965, Ahmad Yani. Bung Karno juga pernag berlinang air mata ketika menerima delegasi anak-anak muda Aljazair yang berkunjung ke istana meminta dukungan Indonesia memerdekakan negara mereka dari kolonialis Perancis.
Pada awal 1950-an itu Bung Karno juga menangis tak lama setelah mendarat di Moskow, ibukota (saat itu) Uni Soviet. Mengapa? Karena sebanyak 150 orang Rusia berbaris menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebagai penyambutan terhadap kedatangannya.
Demikianlah juga wajah Bung Karno terlihat sembab ketika pertama melangkahkan kaki ke Cina pada 1956. Di Beijing, ratusan ribu rakyat Cina mengadakan arak-arakan pawai raksasa dan tembakan penghormatan.
Kunjungan setengah bulan dari 30 September hingga 14 Oktober 1956 itu membekas dalam pada Soekarno. Di bandar udara tak jauh dari pesawat yang ditumpangi delegasi Indonesia, berjajar Ketua Partai Komunis Cina, Mao Zedong, orang tertinggi di negeri berpenduduk terbesar di dunia itu. Juga Perdana Menteri Zhou Enlai; Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Marsekal Zhu De; isteri Presiden Republik Tiongkok Pertama Dr. Sun Yatsen, Song Qingling…
“Indonesia Raya” dan “Barisan Para Sukarelawan” yang dimainkan Tentara Pembebasan Rakyat berkumandang.
Bung Karno tersenyum. Dengan pakaian kebesarannya sebagai pemimpin tertinggi angkatan perang Indonesia, serta kopiah hitam ciri bangsa Indonesia, setelah itu ia berpidato.
“Setelah saya mengunjungi Uni Soviet, Yugoslavia, Austria, Czekoslovakia dan Mongolia, hari ini saya tiba di Peking, disambut dengan meriah dan hangat. Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada saudara-saudara sekalian.
Ucapan terima kasih ini bukan hanya dari diri pribadi saya saja tetapi ucapan terima kasih dari 82 juta rakyat Indonesia. Rasa hormat saudara-saudara sebenarnya adalah ditujukan untuk menghormati rakyat Indonesia. Tanpa rakyat, saya ini hanyalah orang biasa. Tanpa rakyat, saya ini bukan apa-apa. Saya ini bukanlah pemberi kemerdekaan rakyat Indonesia, tetapi kemerdekaan Indonesia itu berasal dari perjuangan rakyat Indonesia.
Saya ini bukanlah bapak rakyat Indonesia, tetapi saya adalah putera rakyat Indonesia. Oleh karena itu, rasa hormat saudara-saudara kepada saya, akan saya tujukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Saat ini saya bersama dengan rakyat Tiongkok. Bersama dengan 600 juta rakyat Tiongkok yang tiada henti-hentinya berjuang mencapai cita-cita.
Saya berada di sini demi untuk menguatkan hubungan persahabatan diantara rakyat Indonesia dan Tiongkok. Saya sangat percaya bahwa kerjasama persahabatan yang baik ini sangat mudah untuk dilaksanakan karena cita-cita rakyat Tiongkok dan Indonesia begitu banyak persamaannya. Mari kita bersama-sama untuk maju, wujudkan kemerdekaan yang seutuhnya, dan wujudkan dunia yang damai abadi. Terima kasih!”
Selama pidato pendek itu tidak henti-hentinya rakyat negeri tirai bambu itu bertepuk tangan. “Hidup Persahabatan Rakyat Tiongkok dan Indonesia”, “Hidup Presiden Sukarno”, “Merdeka Bung.”
Setelah pidato usai, mereka menjulur-julurkan tangan, berusaha menggapai tangan Bung Karno.
Kurang 1 jam kemudian, Bung Karno dan Mao satu mobil, melewati jalanan sepanjang 20 km dari Bandara Beijing menuju tempat kediaman para pemimpin Republik Rakyat Cina di Zhongnanhai.
Dan setelah itu, ratusan warga Cina, ada yang menyebut 300 ribu-an orang, berjajar di pinggir jalan yang dilewati 2 pemimpin negara itu. Saking banyaknya orang, Bung Karno suatu ketika menyebut jajaran rakyat Cina itu sebagai karpet manusia.
Mereka mengibarkan bendera 2 negara, ribuan rakyat itu meneriakkan “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!”
“Beijing menyambut kedatanganku dengan pawai hebat sekali…Orang-orang yang bersamaku juga merasa bangga terhadapku, bangga karena bangsa kami yang dulu tertindas mendapat tempat di antara bangsa-bangsa besar,” kata Bung Karno, seperti dikutip buku Cindy Adams (Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1967).
Di tempat lain, Bung Karno mengaku meneteskan air mata saat menerima sambutan rakyat Cina yang luar biasa itu. Penyambutan itu lebih megah dibandingkan penyambutan yang pernah diterimanya di Amerika Serikat dan Uni Soviet. Setelah berpelukan dengan Mao di Bandara itu, Bung Karno mengenangnya dalam kalimat singkat: “Indonesia dan Tiongkok adalah dua sahabat karib. Rakyat Indonesia merasa bahwa kemenangan rakyat Tiongkok adalah kemenangan mereka juga,” kata Bung Karno, seperti dikutip Ganis Harsono (Cakrawala Politik Era Sukarno; 1985).
Sumber : http://koransulindo.com/karpet-manusia-dari-ketua-mao-untuk-bung-karno/
Air mata Bung Karno berlinang-linang. Bapak Bangsa itu memang jarang menyembunyikan perasaannya. Lahir dan besar di Jawa Timur, yang sering dikatakan sebagai bagian wilayah orang-orang Jawa yang terbuka, Soekarno tak malu menangis terisak-isak ketika ziarah ke kubur jenderal yang sangat disayanginya yang dibunuh sewaktu peristiwa 1 Oktober 1965, Ahmad Yani. Bung Karno juga pernag berlinang air mata ketika menerima delegasi anak-anak muda Aljazair yang berkunjung ke istana meminta dukungan Indonesia memerdekakan negara mereka dari kolonialis Perancis.
BalasHapusPada awal 1950-an itu Bung Karno juga menangis tak lama setelah mendarat di Moskow, ibukota (saat itu) Uni Soviet. Mengapa? Karena sebanyak 150 orang Rusia berbaris menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebagai penyambutan terhadap kedatangannya.
Demikianlah juga wajah Bung Karno terlihat sembab ketika pertama melangkahkan kaki ke Cina pada 1956. Di Beijing, ratusan ribu rakyat Cina mengadakan arak-arakan pawai raksasa dan tembakan penghormatan.
Kunjungan setengah bulan dari 30 September hingga 14 Oktober 1956 itu membekas dalam pada Soekarno. Di bandar udara tak jauh dari pesawat yang ditumpangi delegasi Indonesia, berjajar Ketua Partai Komunis Cina, Mao Zedong, orang tertinggi di negeri berpenduduk terbesar di dunia itu. Juga Perdana Menteri Zhou Enlai; Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Marsekal Zhu De; isteri Presiden Republik Tiongkok Pertama Dr. Sun Yatsen, Song Qingling…
“Indonesia Raya” dan “Barisan Para Sukarelawan” yang dimainkan Tentara Pembebasan Rakyat berkumandang.
Bung Karno tersenyum. Dengan pakaian kebesarannya sebagai pemimpin tertinggi angkatan perang Indonesia, serta kopiah hitam ciri bangsa Indonesia, setelah itu ia berpidato.
“Setelah saya mengunjungi Uni Soviet, Yugoslavia, Austria, Czekoslovakia dan Mongolia, hari ini saya tiba di Peking, disambut dengan meriah dan hangat. Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada saudara-saudara sekalian.
BalasHapusUcapan terima kasih ini bukan hanya dari diri pribadi saya saja tetapi ucapan terima kasih dari 82 juta rakyat Indonesia. Rasa hormat saudara-saudara sebenarnya adalah ditujukan untuk menghormati rakyat Indonesia. Tanpa rakyat, saya ini hanyalah orang biasa. Tanpa rakyat, saya ini bukan apa-apa. Saya ini bukanlah pemberi kemerdekaan rakyat Indonesia, tetapi kemerdekaan Indonesia itu berasal dari perjuangan rakyat Indonesia.
Saya ini bukanlah bapak rakyat Indonesia, tetapi saya adalah putera rakyat Indonesia. Oleh karena itu, rasa hormat saudara-saudara kepada saya, akan saya tujukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Saat ini saya bersama dengan rakyat Tiongkok. Bersama dengan 600 juta rakyat Tiongkok yang tiada henti-hentinya berjuang mencapai cita-cita.
Saya berada di sini demi untuk menguatkan hubungan persahabatan diantara rakyat Indonesia dan Tiongkok. Saya sangat percaya bahwa kerjasama persahabatan yang baik ini sangat mudah untuk dilaksanakan karena cita-cita rakyat Tiongkok dan Indonesia begitu banyak persamaannya. Mari kita bersama-sama untuk maju, wujudkan kemerdekaan yang seutuhnya, dan wujudkan dunia yang damai abadi. Terima kasih!”
Selama pidato pendek itu tidak henti-hentinya rakyat negeri tirai bambu itu bertepuk tangan. “Hidup Persahabatan Rakyat Tiongkok dan Indonesia”, “Hidup Presiden Sukarno”, “Merdeka Bung.”
Setelah pidato usai, mereka menjulur-julurkan tangan, berusaha menggapai tangan Bung Karno.
Kurang 1 jam kemudian, Bung Karno dan Mao satu mobil, melewati jalanan sepanjang 20 km dari Bandara Beijing menuju tempat kediaman para pemimpin Republik Rakyat Cina di Zhongnanhai.
Dan setelah itu, ratusan warga Cina, ada yang menyebut 300 ribu-an orang, berjajar di pinggir jalan yang dilewati 2 pemimpin negara itu. Saking banyaknya orang, Bung Karno suatu ketika menyebut jajaran rakyat Cina itu sebagai karpet manusia.
Mereka mengibarkan bendera 2 negara, ribuan rakyat itu meneriakkan “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!”
“Beijing menyambut kedatanganku dengan pawai hebat sekali…Orang-orang yang bersamaku juga merasa bangga terhadapku, bangga karena bangsa kami yang dulu tertindas mendapat tempat di antara bangsa-bangsa besar,” kata Bung Karno, seperti dikutip buku Cindy Adams (Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; 1967).
Di tempat lain, Bung Karno mengaku meneteskan air mata saat menerima sambutan rakyat Cina yang luar biasa itu. Penyambutan itu lebih megah dibandingkan penyambutan yang pernah diterimanya di Amerika Serikat dan Uni Soviet. Setelah berpelukan dengan Mao di Bandara itu, Bung Karno mengenangnya dalam kalimat singkat: “Indonesia dan Tiongkok adalah dua sahabat karib. Rakyat Indonesia merasa bahwa kemenangan rakyat Tiongkok adalah kemenangan mereka juga,” kata Bung Karno, seperti dikutip Ganis Harsono (Cakrawala Politik Era Sukarno; 1985).
Sumber : http://koransulindo.com/karpet-manusia-dari-ketua-mao-untuk-bung-karno/
harga hanya 400 ribu
Tertarik???
hUBUNGIN: 089-999-26-779
Ditunggu teleponnya, minimal sms deh
siap kirim ke luar kota